Siapa ‘Pemain’ Elpiji 3 Kg? Harga Sebenarnya Rp 12.750, tapi Dijual Rp 22.000 per Tabung ke Warga
Jakarta – Kelangkaan elpiji 3 kg atau gas melon kembali menjadi sorotan. Harga resmi yang seharusnya hanya Rp 12.750 per tabung di pangkalan, kini di banyak daerah dijual Rp 20.000 hingga Rp 22.000, bahkan lebih. Warga pun mengeluh karena harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan gas subsidi yang seharusnya terjangkau bagi masyarakat kecil.
Di balik fenomena ini, muncul pertanyaan besar: siapa “pemain” yang menyebabkan harga elpiji 3 kg melambung? Apakah ada Mafia Distribusi yang bermain? Ataukah Sistem Distribusi yang masih bermasalah?
Harga Resmi vs. Harga di Lapangan
Berdasarkan aturan pemerintah, harga eceran tertinggi (HET) elpiji 3 kg di tingkat pangkalan bervariasi tergantung daerah, tetapi berkisar di angka Rp 12.750 hingga Rp 16.000 per tabung.
Namun, pada kenyataannya, harga di tingkat pengecer bisa mencapai Rp 22.000 hingga Rp 30.000, tergantung lokasi dan ketersediaan stok. Berikut gambaran selisih harga di beberapa daerah:
- Jakarta & Jawa Barat: Rp 20.000 – Rp 22.000
- Jawa Tengah & DIY: Rp 22.000 – Rp 25.000
- Sumatera & Kalimantan: Rp 25.000 – Rp 30.000
- Wilayah terpencil & pelosok: Bisa lebih dari Rp 30.000
Dengan selisih harga yang cukup jauh, muncul dugaan bahwa ada pihak tertentu yang mengambil keuntungan lebih besar dalam rantai distribusi elpiji bersubsidi ini.
Siapa Pemain di Balik Kenaikan Harga Elpiji 3 Kg?
Beberapa faktor yang diduga menyebabkan harga elpiji 3 kg lebih mahal dari harga resmi di pangkalan:
1. Pengecer Nakal yang Bermain Harga
Setelah gas dari pangkalan sampai ke tangan pengecer, harganya sering kali dinaikkan secara sepihak. Banyak warung dan pengecer yang menjual elpiji di atas harga eceran tertinggi (HET) karena melihat adanya permintaan tinggi dan pasokan yang terbatas.
2. Agen dan Pangkalan yang Tidak Transparan
Beberapa agen dan pangkalan diduga tidak menjual elpiji sesuai ketentuan. Mereka lebih memilih menjual ke pengecer dengan harga lebih tinggi daripada langsung ke masyarakat. Alhasil, warga yang ingin membeli langsung di pangkalan sering kali kehabisan stok.
3. Dugaan Penimbunan oleh Spekulan
Saat terjadi kelangkaan, harga elpiji otomatis naik. Dalam kondisi seperti ini, ada kemungkinan spekulan atau pihak tertentu menimbun stok untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi saat pasokan semakin menipis.
4. Penyalahgunaan Elpiji Bersubsidi
Elpiji 3 kg seharusnya hanya digunakan oleh rumah tangga miskin dan usaha mikro. Namun, dalam praktiknya, banyak rumah tangga mampu dan usaha menengah hingga besar yang ikut menggunakan gas subsidi ini.
Misalnya:
✅ Restoran besar yang seharusnya menggunakan elpiji nonsubsidi justru memakai gas melon.
✅ Laundry dan bisnis makanan besar juga menggunakan elpiji subsidi demi menekan biaya operasional.
Penyalahgunaan ini semakin memperburuk kelangkaan di masyarakat yang benar-benar membutuhkan elpiji subsidi.
Apa Langkah Pemerintah?
Menanggapi permasalahan ini, pemerintah dan Pertamina mengklaim telah mengambil beberapa langkah untuk memastikan distribusi elpiji 3 kg lebih transparan dan tepat sasaran, di antaranya:
✅ Digitalisasi Distribusi
Pemerintah berencana menerapkan sistem distribusi berbasis pendataan digital agar penjualan elpiji subsidi bisa lebih terpantau dan tepat sasaran.
✅ Penertiban Pangkalan & Pengecer Nakal
Beberapa daerah mulai melakukan sidak ke pangkalan yang menjual elpiji di atas HET. Jika ditemukan pelanggaran, pangkalan bisa diberi sanksi atau bahkan dicabut izinnya.
✅ Pengawasan Ketat untuk Mencegah Penimbunan
Pertamina dan aparat kepolisian terus melakukan razia terhadap spekulan yang diduga menimbun elpiji 3 kg untuk keuntungan pribadi.
✅ Mendorong Penggunaan Elpiji Nonsubsidi bagi Masyarakat Mampu
Pemerintah juga mengimbau agar masyarakat yang mampu dan usaha skala besar menggunakan elpiji nonsubsidi seperti Bright Gas 5,5 kg atau 12 kg, sehingga elpiji subsidi bisa benar-benar dinikmati oleh yang berhak.
Kesimpulan
Lonjakan harga elpiji 3 kg yang jauh dari harga resmi menunjukkan adanya masalah dalam distribusi dan pengawasan. Beberapa pihak diduga memanfaatkan kelangkaan untuk mengambil keuntungan lebih besar, baik di tingkat pengecer, pangkalan, maupun spekulan.
Jika pemerintah tidak segera bertindak tegas, harga elpiji bisa terus melambung dan semakin membebani masyarakat kecil. Digitalisasi distribusi dan pengetatan pengawasan diharapkan bisa menjadi solusi agar subsidi elpiji benar-benar sampai ke yang membutuhkan.
Masyarakat berharap pemerintah dapat segera menertibkan “pemain” yang membuat harga elpiji 3 kg tidak stabil dan membebani rakyat.